Hal ini ada baik dan buruknya. Baiknya adalah guru lebih tahu mengenai kondisi kemampuan siswanya apakah layak lulus atau tidak. Buruknya adalah siswa kurang termotivasi belajar dan cenderung menganggap remeh Unas, karena toh dengan mudah bisa lulus walau hanya belajar asal-asalan dan nilai bisa dikatrol.
Menyadari hal itu, pemerintah menjadikan Unas sebagai syarat kelulusan siswa. Bahkan, target kelulusan tiap tahun dinaikkan. Guru, siswa dan wali murid kalang kabut. Betapa tidak, para siswa yang sudah belajar selama tiga tahun hanya divonis empat hari, apakah bisa lulus atau tidak dengan mata pelajaran tertentu (Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan IPA).
Unas seakan menjadi ‘monster’ yang sangat menakutkan, terutama bagi siswa yang berkemampuan pas-pasan atau sekolah-sekolah yang kurang baik kualitasnya. Agar lulus Unas, berbagai cara dilakukan, mulai dengan mengadakan bimbingan belajar dan try out secara intensif. Kalau perlu, pihak sekolah membentuk tim sukses Unas.
Menjelang Unas, siswa dijejali berbagai macam soal-soal yang cukup membuat siswa stres. Itupun belum cukup, persiapan mental juga perlu ditanamkan pada siswa, misalnya mengadakan kegiatan doa bersama (istighotsah), pelatihan mental agar siap mengahadapi Unas. Ada yang melakukan cara-cara yang kurang lazim, yaitu meminta bantuan paranormal atau mengadakan ritual-ritual khusus sebagai upaya batiniah.
Terlepas dari itu semua, yang harus kita sikapi bahwa pelaksanaan Unas jangan sampai dikotori perbuatan tercela. Misalnya, berbuat curang dengan cara memberi bocoran soal, atau memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling mencontek sesama teman. Walaupun soal Unas diawasi ketat, termasuk tim independen secara berlapis, masih juga ditemukan kecurangan di lapangan, baik yang dilakukan oknum siswa atau guru.
Tujuan pemerintah dengan adanya Unas tidak lain untuk meningkatkan mutu kelulusan jangan sampai dinodai dengan perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji. Jangan sampai kasus kebocoran soal dan ketidakjujuran siswa menjadi preseden buruk bagi dunia pendidikan di tanah air. Hanya karena gengsi atau takut siswanya banyak yang tidak lulus akhirnya menghalalkan segala cara.
Dengan melihat fakta-fakta tersebut kita pasti miris bahwa pendikan di negeri ini memang banyak diwarnai kepalsuan (ketidakjujuran). Wajar kalau mutu pendidikan di negara kita tertinggal jauh dengan negara tetangga seperti Malaysia, Brunei Darussalam dan Vietnam yang dulu pernah berguru ke Indonesia.
Jangan sampai, dana yang dikucurkan untuk membiayai Unas yang mencapai Rp 137 miliar, sia-sia. Kita tidak perlu saling menyalahkan dan yang lebih penting adalah memperbaiki sistem Unas agar lebih baik dan tidak membuat stres guru, siswa dan masyarakat.
Oleh: Abdul Aziz Spd
Guru SMP KHM Nur SDN Ujung 14 Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar